Saturday 30 July 2016

WHAT WENT WRONG WITH ISLAM AND MUSLIM

salah satu perkara akademis yang mengita perhatian para sarjana islam selama bertahun-tahun adalah akankah islam, atau muslim akan menjadi demokratis? kita tahu bahwa dalam literatur ilmu politik, terutama teroi politik, demokrasi bersumber pada warga negara yang cinta pada nilai-nialai modernitas.

itulah setidaknya yang kita temukan pada tradisi Tocquevillian. dalam tradisi ini, kecintass pada kebebasan, toleransi dan setaraan menjadi instrumen utama terbentuknya demokrasi modern. tanpa kecintaan pada nilai-nilai itu, demokrasi akan dengan mudah terjatuh pada tirani mayoritas. di dunia islam, kecintaan pada kebebasan, toleransi dan kesetaraan menjadi barag langka. di berbagai survei internasional, indeks atas nilai-nilai itu tetap juga rendah. karena itu, demokrasi ters mengalami defisit di dunia islam, justru pada saat daun-daun otoriter di Amerika Latin tumbang secara serentak sejak 1980-an.

lantas pertanyaan yang sering kali diajukan oleh Profesor bernard lewis di princetonUniversity, Amerika adalah what when wrong with islam and muslm? dalam bahasa kita, " apa yang salah dengan islam dan muslim? professor lewis lansung menunjuk masalah utama di balik absennya demokrasi di dunia islam. yakni, sebagai sub judul karyanya (2003), 'the clash between islam and modernity in teh middle east' tesi utamanya tertumpu pada benturan antara islam dan modernitas di timur tengah. sesuai tesis Tocqueville, demokrasi dapat tumbuh subur karena di topang warga sipil yang mencintai nilai-nilai modernitas, sementara nilai islam dan modernitas, kata lewis, justru mengalmai kontradiksi dan benturan satu dengan yang lainnya. akibatnya, pohon demokrasi sulit tumbuh subur di dunia islam.

padahal, menurut lewis, diantara semua peradaban non-barat, islam justru mempunyai prospek cerah bagi tumbuh suburnya demokrasi modern seperti amerika dan eropa. baik daris egi pertimbangan sejarah, kultur, maupun segala agama, islam terkait cukup erat dengan barat. meskipun tidak sepenuhnya, islam mewarisi garis genealogis masa lalu dengan tradisi Judeokristen yang menjadi sendi utama demokrasi peradaban barat, entah amerika maupun eropa. sayangnya, semua modal itu tak termaterialskan secara baik di dunia islam. terutama dari segi politik, sesuai argument lewis, islam dan muslim mengalami nasib tragis dala perwujudan demokrasi modern -liberal. dia pun menunjukkan data bahwa di antara 53 negara yang berkembang kjedalma organisasi Konferensi Islam internasional (OKI), hanyalah turki yang lolos memenuhi standar demokrasi model barat (bernard Lewis, " islam and liberal Democracy," the antklantis monthly, 1993;89). ingat, kebenaran data lewis -jika itu benar- terikat pada masaitu. artikel itu sendiri ditulis pada tahun 1993: suatu masa ketika dunia islam memang sedang pada opuncak otoritarianisme, seperti indonesia di bawh rezim Soeharto.

kita kembali lagi ke poin utama : what went wrong with islam and muslim? tanpa rasa simpatik, lewis lansung menukik ke jantung islam: bahwa agama ini tidak memperkenalkan konsep citizenshi, yakni,konsep kewarganegaraan yang menjadi syarat utama demokrasi modern tidak ada konsep citizenship. yakni, konsep kewarganegaraan yang menjadi syarat utama demokrasi modern. tidak ada konsep citizen dalam bahasa arab, turki maupun persia. nomenklatur ini jelas tak sepadan dengan konsep citizen, yang didirivasikan dari bahasa latin, civis, dan memiliki makna pada konsep polites dalam bahasa Yunani maknanya pun suportif terhadap demokrasi : seseorang yang berpatisipasi dalam urusan-urusan publik di polis (kota).

tidak adanya konsep citizenship dalam islam mengandung sejumlah implikasi serius. yakno, hilangnya hak-hak sipil dan politik warga negara dalam berpartisipasi di ruang publik. inilah yang selam ini diderita warga sipil yang hidup dibawah rezim diktator-despotik dunia islam. konsepkuensinya, gelombang demokrasi menejadi bergerak sangat lamban, akibat hilangnya aktor sipil sebagai kelompok penekann. aktor negara sangat sulit diandalkan sebagai pilar demokratisasi, karena justru disitulah sumber masalah angin demokrsi di dunia islam. kita tetap berharap terus aktif dalam ruang publik (public sphare). inilah salah satu pilar utama, di samping pilar pers, lembaga parlemen, dan kekuatan ekstra-konstitutional, untuk mendorong ke arah proses demokrasi di dunia islam. negara kita tercinta, indonesia, menjadi laboratorium tumuhnya demokrasi justru dari pojok representasi dunia islam terbesar di duia yang bernama Indonesia. temtu, asal dengan syarat kita semua terus mengawal proses demokrasi yang sedangberlansung di negara ini, agar bergerak ke arahkehidupan yang lebih baik, lebih adil, lebih sejahtera, dan lebih demokratis tentunya. dnegan begitu, tesis-tesis orientalis barata akan berguguran dengan sendirinya.

0 comments:

Post a Comment